Minggu ke-10
Cinta dan perkawinan menurut
Plato.
Cinta itu semakin dicari, maka
semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan
keinginan dan harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang
berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan... tiada sesuatupun
yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat
diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya.
Perkawinan adalah kelanjutan
dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang
terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk
mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia2lah waktumu
dalam mendapatkan perkawinan itu, karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa
adanya.
A.
Memilih
pasangan
Terkadang
orang yang sudah mapan sekalipun masih bingung untuk mengungkapkan apa itu
cinta? Apa penting perkawinan? Yah jelas cinta itu suatu kebahagiaan yang
dirasakan oleh orang yang sedang bahagia. Perkawinan penting sekali, karena
dengan adanya perkawinan, zina tidak lah marak terjadi, menambah ibadah, tidak
melakukan dosa dll. Memilih pasangan hidup tidaklah semudah apa yang kita
fikirkan, karena jika kita salah memilih, penyesalan itu akan datang dikemudian
hari, dan otomatis akan membuat hidup kita tidak bahagia dalam menjalin bahtera
rumah tangga. Sebaliknya, mereka yang telah bahagia menjalin hubungan sebelum
menikah, sudah benar-benar siap untuk memilih pasangan yang indah untuk
mendampingi satu sama lain ketika kelak menikah nanti, akan benar-benar
merasakan kebahagian, menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahma ketika
telah benar memilih pasangan hidup.
Memilih
pasangan hidup merupakan sesuatu hal yang sangat penting hukumnya atau (wajib),
Karna dalam hidup apa lagi sih yang kita cari kalo bukan jodoh kita. Salah
satunya pasangan hidup merupakan tujuan utama dalam hidup ini, karna menurut
agama kenapa Allah menciptakan Perempuan dan Laki-laki. agar mereka bisa hidup
berpasang-pasangan.
Kriteria
dan cara untuk memilih pasangan :
1. Pilih
pendamping hidup yang baik agamanya, kuat imannya, dan baik budi pekertinya. Maksudnya
agama memang fondasi awal dalam berumah tangga. Apabila ada perbedaan di awal,
tentu prinsip ini akan bisa menggoyahkan prinsip hidup yang lain. Oleh karena
itu, pasangan yang seiman dan kuat dalam memegang teguh agamanya, menjadi
faktor terpenting kelanggengan hubungan cinta dan kasih, dalam suatu
pernikahan.
2. Pilih
pasangan hidup yang jujur, bisa dipercaya, dan bisa memegang janji untuk menjadi pendamping hidup yang baik.
3. Bertanggung
jawab bukan hanya sebagai pacar, tetapi bisa sebagai suami/istri yang baik bila
hubungan ini diteruskan ke jenjang pernikahan. Artinya, si cewek atau si cowok
mau menjalankan tugas dan kewajiban mereka apabila suatu hari nanti menjadi ibu
atau ayah dari sebuah keluarga.
4. Memiliki
sopan santun, yang jujur, bisa dipercaya, dan bisa memgang janji untuk menjadi
pendamping hidup yang baik.
B.
Hubungan
dalam perkawinan
Perkawinan
adalah nuklus sebuah masyarakat yang melahirkan hak dan kewajiban. Karena itu,
perkawinan diatur dalam sebuah hukum yang disebut hukum perkawinan.
Hukum
perkawinan Islam pada dasarnya adalah sebuah hukum yang bersifat diyâni, tetapi
kemudian dikembangkan sebagai hukum yang berseifat qadhâ’î berdasarkan politik
hukum Islam atau as-siyâsah asy-syar‘iyyah. Perkawinan diyâni diselenggarakan
sesuai nushûsh agama dari Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan perkawinan qadhâ’î
diselenggarakan sesuai dengan kebijakan tertentu pemerintah atau peraturan
perundang-undangan. UU No. 1 Tahun 1973 tentang Perkawinan menggabungkan kedua
bentuk hukum tersebut di mana dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa
perkawinan adalah sah bila dilakukan berdasarkan keyakinan agama dan perkawinan
tersebut dicatat oleh negara melalui lembaga pencatatan yang diatur berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Dalam
istilah al-Qur’an, perkawinan disebut an-nikâh dan az-zawâj. Kata asal an-nikâh
berarti al-’aqd (perjanjian, kontrak), kemudian digunakan untuk menunjukkan
pengertian al-jimâ’ (persetubuhan). Sedangkan az-zawâj berarti perpasangan
antara jenis laki-laki dan perempuan, atau antara jantan dan betina, atau
antara dua jenis yang berbeda, tetapi menyatu dalam fungsi.[2] Dari pengertian
ini, maka perkawinan sesama jenis, seperti dilakukan oleh kaum homoseksual dan
lesbian, sebenarnya tidak dapat disebut perkawinan. Perkawinan sejenis ini
adalah ibarat memakai sepatu yang kedua-duanya kiri atau kedua-duanya kanan
sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pasangan yang cocok. Di negara-negara
tertentu yang menjalankan politik sekularisasi, perkawinan pasangan berlainan
jenis dizinkan oleh undang-undang.
Perkawinan
dimulai dari perjanjian antara calon suami dan calon isteri yang disebut kontrak
perkawinan (‘aqd an-nikâh). Kontrak ini dilakukan di depan seorang penghulu
sebagai pencatat kontrak, mirip seorang notaris dalam perjanjian biasa,
disaksikan paling tidak oleh dua orang saksi dan pembayaran mas kawin oleh
suami kepada isteri dalam jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Perkawinan
dapat disebut sebagai salah satu lembaga masyarakat yang melahirkan berbagai
hubungan. Pertama adalah hubungan darah kepada anak cucu. Kedua adalah hubungan
semenda kepada keluarga asal kedua belah pihak. Ketiga adalah hubungan
kewarisan. Keempat adalah hubungan hak dan kewajiban. Ini tentu di samping
hubungan ketetanggaan karena sebuah keluarga hidup salam suatu lingkungan
masyarakat. Begitu banyaknya hubungan yang dilahirkan oleh lembaga ini sehingga
memerlukan pengaturan yang rinci dari agama dan/atau perundang-undangan negara.
C.
penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan.
Perkawinan
tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini harus dapat
mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan tidak
diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu tahapan
dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang terjadi
dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi dalam
perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu kesatuan
serta terbentuknya hubungan antarkeluarga kedua pihak.
Relasi
yang diharapkan dalam sebuah perkawinan tentu saja relasi yang erat dan hangat.
Tapi karena adanya perbedaan kebiasaan atau persepsi antara suami-istri, selalu
ada hal-hal yang dapat menimbulkan konflik. Dalam kondisi perkawinan seperti
ini, tentu sulit mendapatkan sebuah keluarga yang harmonis.
Pada
dasarnya, diperlukan penyesuaian diri dalam sebuah perkawinan, yang mencakup
perubahan diri sendiri dan perubahan lingkungan. Bila hanya mengharap pihak
pasangan yang berubah, berarti kita belum melakukan penyesuaian.
Banyak
yang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam sebuah hubungan. Bahkan bisa
menguatkan ikatan cinta. Hanya, tak semua pasangan mampu mengelola dengan baik
sehingga kemarahan akan terakumulasi dan berpotensi merusak hubungan.
D.
Perceraian
dan Pernikahan kembali
Pernikahan
bukanlah akhir kisah indah bak dongeng cinderella, namun dalam perjalanannya,
pernikahan justru banyak menemui masalah. Menikah Kembali setelah perceraian
mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan
mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan
sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami.
Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang
berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu
untuk mengambil keputusan.
Esensi
dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar belakang. Untuk
itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk diusahakan bersama. Jika
ingin sukses dalam pernikahan baru, perlu menyadari tentang beberapa hal
tertentu, jangan biarkan kegagalan masa lalu mengecilkan hati, menikah Kembali
setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan
berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.
E.
Single Life
Perkembangan jaman, perubahan gaya hidup,
kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu dengan pujaan hati yang
cocok, biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian marak, dan berbagai alasan
lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup melajang. Batasan usia untuk
menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti
karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk
menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah
pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap
hidup melajang.
Persepsi
masyarakat terhadap orang yang melajang, seiring dengan perkembangan jaman,
juga berubah. Seringkali kita melihat seorang yang masih hidup melajang,
mempunyai wajah dan penampilan di atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria
maupun wanita, mereka pun pandai bergaul, memiliki posisi pekerjaan yang cukup
menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.
Alasan
yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin
kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati
kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi,
tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan.
Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada
prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan
hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan,
sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang
lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu
yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi
alasan tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum
memiliki kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa
senang jika sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka
bangga memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain
itu, ada kepuasaan tersendiri.
Pelajang juga menjadi sasaran keluarga untuk
dicarikan jodoh, terutama bila saudara sepupu yang seumuran telah menikah atau
adik sudah mempunyai pacar. Sementara orangtua menginginkan agar adik tidak
melangkahi kakak, agar kakak tidak berat jodoh.
Tidak
dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga mempunyai keinginan untuk menikah,
memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka. Apalagi melihat teman yang
seumuran yang telah memiliki sepasang anak yang lucu dan menggemaskan. Bisa
jadi, mereka belum menemukan pasangan atau jodoh yang cocok di hati. Itulah
alasan mereka untuk tetap menjalani hidup sebagai lajang.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan
bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri
masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok
di hati.
Kehidupan
melajang bukanlah sebuah hal yang perlu ditakuti. Bukan pula sebuah
pemberontakan terhadap sebuah ikatan pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu
jodoh yang cocok untuk berbagi dalam suka dan duka serta menghabiskan waktu
bersama di hari tua.
“CERITA
PERNIKAHAN MENURUT PLATO”
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa
itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?
Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum
yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali,
kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu
anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta" Plato pun
berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa
membawa apapun.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak
membawa satupun ranting?"
Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu
saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)"
Sebenarnya aku telah menemukan yang paling
menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan
sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh
lagi, baru kusadari bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak
sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"
Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah
cinta"
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada
gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur
didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya
boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang
paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia
kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar / subur,
dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon
yang seperti itu?"
Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan
pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku
kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan
kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan
membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkannya"
Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah
perkawinan"
REFERENSI
Adhim,
Mohammad Fauzil. 2002. Indahnya
Perkawinan Dini Jakarta: Gema Insani Press (GIP)
Widianti,
Dian. 2005. Ensiklopedi Cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar